HUBUNGAN
SHALAT DAN KESEHATAN MENTAL MANUSIA
Islam merupakan agama ketundukan dan kepasrahan. Sikap kepasrahan
dan ketundukan itu, baik secara psikologis, sosialis, maupun antropologis,
lebih bersifat batiniyah. Islam sebagai sikap pasrah, tunduk, dan patuh kepada
Allah SWT, adalah pola wujud (mode of existence) seluruh alam. Jadi
semua yang ada di dalam alam semesta ini merupakan wujud dari eksistensi
ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan. Didalam Artikel ini akan membahas
mengenai bagaimana hubungan shalat terhadap kesehatan mental manusia, sehingga
kita dapat mengetahui sinergi yang diakibatkan shalat terhadap kesehatan mental
manusia. Sementara itu, bentuk ketundukan dan kepasrahan manusia terhadap sang
maha kuasa adalah dengan melaksanakan rukun Islam, yang dimana salah satunya
adalah mengerjakan shalat.
Sementara
itu, konsepsi kebahagiaan dan kesengsaraan manusia sebetulnya merupakan
penerjemahan abstrak dari keadaan kesehatan mental manusia. Manusia sebagai
makhluk yang memiliki akal dan perasaan tentunya manusia memiliki kesadaran
mengenai problem yang mengganggu kejiwaannya. Sehingga istilah kesehatan
manusia, bukanlah sebatas kesehatan dan kesegaran lahiriah sebagaimana selama
ini disalah pahami kebanyakan orang. Maka penyebutan kesehatan mental di
maksudkan sebagai suatu pandangan tentang kesehatan manusia secara menyeluruh
dalam dirinya, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Untuk membantu manusia dalam menghadapi
dirinya yang sedang menghadapi berbagai macam masalah itu, maka Allah menyuruh kita untuk bersabar dan didampingi dengan melaksanakan
shalat. Seperti kerap kali disampaikan, bahwa agama
Islam meliki tiga ornamen sistem yang menopang bangunan keberagamaan kaum
muslimin, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Dalam pola penerapannya juga sering dikenal tiga perangkat:
syariat, tarekat, dan makrifat serta hakikat (dua yang terakhir berada dalam
satu tataran) dan jika boleh di ibaratkan Islam merupakan suatu bangunan yang
kokoh yang di dalamnya tersusun oleh beberapa bagian yang penting dan saling menguatkan. Sehingga,
peran dari setiap bagian-bagian tersebut sangat penting dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Demikian mengikuti alur tersebut,
pendekatan keberagamaan seorangpun juga mengenal tiga perspektif;
sosial-historis (dari wacana Islam dan syariat), filosofis (dari wacana iman
dan tarekat), dan spiritualistik (dalam wacana ihsan dengan makrifat dan hakikatnya).
Jika dikaitkan dengan struktur dimensi
kemanusiaan dengan konsep ditiupkannya roh Ilahi, maka dapat dikatakan bahwa wacana Islam
dengan pendekatan syariat dan penalaran sosial-historisnya merujuk pada dimensi
manusia secara fisikan dan biologis. Wacana Islam dengan pendekatan tarekat dan
penalaran filosofisnya bergerak pada dimensi ruh al-ma’ani manusia. Terakhir adalah wacana ihsan dengan
pendekatan spiritualistic dengan penalaran makrifat-hakikatnya bergerak pada
doamain ruh al-hayat atau roh yang ditiupkan Allah yang diisyaratkan Allah
dalam QS. Al-Hijr ayat 28-29:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ
مَسْنُونٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ
سَاجِدِينَ
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku
akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud.”
Konsep trilogi tersebut ternyata juga mewarnai konsepsi Islam dalam pola penyembuhan “penyakit” manusia,
atau pandangan Islam terhadaap konsepsi kehehatan manusia.
Dalam perspektif kesehatan manusia ini, Islam
membagi manusia baik secara jasmani dan rohani terbagi dalam tiga segmen: pertama, jasmani dengan penanganan fisik yang di lakukan oleh bidang kedokteran; kedua, batin dengan penanganan
psikologis; dan, ketiga, ataua terkahir adalah
rohani dengan pola penanganan spiritual. Dengan pembagian pola tersebut, penangan “penyakit” manusia tersatukan dalam pola terpadu. Maka, penanganannya menjadi sempurna. Sebab pada hakikatnya, suatu penyakit dalam diri seseorang akan saling berpengaruh pada masing-masing aspek dari bagian diri
dalam manusia tersebut.
Penyakit manusia di era modern sekarang
ini, sudah semakin bergeser ke arah penyakit psikis seperti psychosomatic misalnya.
Sehingga penanganan penyakit mental kemanusiaan, sudah saatnya bergerak pada
pendekatan holistik. Tidak heran pada saat ini muncul pengobatan dengan cara
spiritual. Namun, haltersebut belum masuk dalam pengobatan holistic.
Dalam diri manusia terdapat dua macam
hormon yang bertolak belakang, atau mungkin juga bersifat timbal balik.
Pertama, hormon endorphin yang sering diasosiasikan dengan keadaan
stress positif seseorang. Stress positif ini adalah ketika pelarian psikologis
manusia bersifat sugesti. Dalam tataran inilah letak do’a sangat berpengaruh
dan sangat berperan bagi pengembalian mental seseorang. Kedua, hormon endrolin
yang diasosiasikan dengan stress psikologi yang negatif yang mengasumsikan pendekatan fisik dan kejiwaan.
Dalam
shalat terjadi hubungan rohani atau spiritual antara manusia dengan Allah.
Dalam aksi spiritualisasi Islam, shalat dipandang sebagai munajat (berdoa dalam
hati dengan khusu’) kepada Allah. Orang yang sedang shalat, dalam melakukan
munajat, tidak merasa sendiri. Ia merasa seolah-olah berhadapan dengan Allah,
serta didengarkan dan diperhatikan munajatnya. Jika
boleh di umpamakan, seperti jika kita
mendekatkan jari kita kemata kita maka kita tidak akan bisa melihat jari kita
namun bisa merasakannya . Sama seperti saat shalat, kita tidak bisa melihat Allah. Namun, kita bisa merasakan bahwa Allah
bersatu dengan tubuh kita. Suasana
spiritualitas shalat yang demikian, dapat menolong orang mengungkapkan segala
perasaan, keluhan dan permasalahannya kepada Allah. Dengan suasana shalat yang
khusu’ itu pula orang memperoleh ketenangan jiwa (annafsul muthmainnah)
karena merasa diri dekat dengan Allah dan memperoleh ampunannya.
Seperti yang kita tahu shalat merupakan
berdo’a dalam hati dengan khusu’, artinya dalam keadaan seperti inilah manusia
akan merasa percaya kepada Allah. Sehingga, dapat mencurahkan segala masalah
yang ada di benaknya dengan tidak ada halangan satupun yang
meghalanginya.
Apabila shalat wajib yang lima waktu kita
tinjau dari segi kesehatan mental, maka akan dapat kita pahami mengapa shalat
itu diwajibkan Allah dan apa sebab mengapa jumlahnya lima kali dalam shari
semalam, mengapa waktu bagi masing-masingnya ditentukan pula dan tidak boleh
didahului dan tidak boleh dilampaui. Dalam kajian ilmu kesehatan dalam satu hari semalam otak manusia membutuhkan relaksasi
minimal 10 menit setiap hari. Artinya jika shalat kita minimal membutuhkan waktu 2 menit dalam setiap waktu, dapat kita hitung dengan kajian matematika
bahwa 2x5 adalah 10. Sehingga, hal tersebut sudah mencukupi batasan minimum
otak kita untuk berelaksasi.
Bagi
manusia yang melaksanakan shalat wajib secara terus menerus dan melaksanakan
shalat sunnah secara rajin. Dan semua shalat itu dilaksanakan secara khusu’
maka nilai-nilai kesehatan mental yang terkandung didalam ibadah shalat
tersebut akan berpengaruh pada dirinya. Nilai-nilai kesehatan mental yang
terdapat dalam ibadah shalat tersebut tertuang dalam bentuk fungsi shalat
sebagai pengobat (curative), pencegah (preventive), pembina (constructive),
dalam kesehatan mental.
A.
Shalat sebagai
obat bagi gangguan jiwa berkaitan erat
dengan perawatan kejiwaan, yaitu orang yang melaksanakan shalat dengan baik,
wudhunya sempurna, dilaksanakan tepat pada waktunya dan terpenuhi semua rukun
dan syaratnya disertai dengan khusu’, maka Allah akan memberikan ampunan kepada
orang tersebut. Dalam pandangan ahli jiwa, ampunan terhadap dosa dan kesalahan
merupakan obat bagi gangguan kejiwaan, karena salah satu penyebab gangguan
kejiwaan adalah merasa bersalah atau berdosa. Orang akan tergoncang jiwanya
apabila ia merasa bersalah dan berdosa kepada Tuhan. Jadi dapat dikatakan bahwa
shalat merupakan sarana pengobatan kejiwaan atau mempunyai fungsi kuratif
terhadap penyakit dan gangguan kejiwaan. Dalam melaksanakan shalat sebagai obat
atau pengobatan kejiwaan, tentu saja shalat itu dilaksanakan dengan dasar iman
dan keyakinan akan kebenaran sifat-sifat Allah, terutama sifat yang sangat
diperlukan oleh orang yang sedang mengharap dan mencari tempat mengeluh,
mengadu dan mengungkapkan perasaan. Dalam perawatan dan pengobatan gangguan
jiwa, terjadi dialog antara penderita dan konsultan. Penderita mengungkapkan
perasaan, keluhan dan permasalahannya kepada konsultan, konsutan mendengarkan,
memahami, dan memperhatikan perasaannya serta menerimanya. Dengan cara
demikian, penderita merasa lega dan merasa tenang karena seluruh perasaan yang
menggelisahkan sudah dapat diungapkan. Dengan pertemuan beberapa kali,
penderita mengalami kesembuhan. Didalam melaksanakan shalat dapat di umpamakan
bahwa manusia (hamba) sebagai penderita dan Allah sebagai konsultan.
B. Shalat sebagai pencegahan terhadap gangguan kejiwaan.
Manusia dalam kehidupannya selalu menghadapi berbagai macam problem dan cobaan hidup, hal yang tidak menyenangkan selalu terjadi. Dan dengan melaksanakan shalat lima waktu dengan khusu’ dan dilaksanakan secara terus menerus maka dapat dihindari perasaan yang tidak mengenakkan di hati, karena manusia selalu mengungkapkannya lima kali sehari melalui ibadah shalat dengan keyakinan bahwa pengungkapannya langsung didengar, dipahami dan diperhatikan oleh Allah karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sedangkan bagi orang yang rajin shalat sunnah, akan merasakan ketenangan dan ketntraman batin yang lebih karena intensitas pengungkapan perasaan dan permohonan manusia dilakukan lebih sering, lebih dari lima kali sehari. Pada saat seseorang sedang shalat, maka seluruh alam fikiran dan perasaannya terlepas dari semua urusan dunia yang membuat dirinya stress. Sesaat jiwanya tenang, ada kedamaian dalam hatinya. Hal ini sejalan dengan pendapat para pakar stress yang menganjurkan orang agar memluk agama, menghayati dan mengamalkannya agar memperoleh ketenangan.
Manusia dalam kehidupannya selalu menghadapi berbagai macam problem dan cobaan hidup, hal yang tidak menyenangkan selalu terjadi. Dan dengan melaksanakan shalat lima waktu dengan khusu’ dan dilaksanakan secara terus menerus maka dapat dihindari perasaan yang tidak mengenakkan di hati, karena manusia selalu mengungkapkannya lima kali sehari melalui ibadah shalat dengan keyakinan bahwa pengungkapannya langsung didengar, dipahami dan diperhatikan oleh Allah karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sedangkan bagi orang yang rajin shalat sunnah, akan merasakan ketenangan dan ketntraman batin yang lebih karena intensitas pengungkapan perasaan dan permohonan manusia dilakukan lebih sering, lebih dari lima kali sehari. Pada saat seseorang sedang shalat, maka seluruh alam fikiran dan perasaannya terlepas dari semua urusan dunia yang membuat dirinya stress. Sesaat jiwanya tenang, ada kedamaian dalam hatinya. Hal ini sejalan dengan pendapat para pakar stress yang menganjurkan orang agar memluk agama, menghayati dan mengamalkannya agar memperoleh ketenangan.
C. Fungsi ibadah shalat sebagai Pembina kesehatan jiwa.
Sebagai pembina kesehatan jiwa manusia, shalat mempunyai manfaat memperkuat mental dan menambah kesehatan jiwa. Karena pendekatan kepada Allah lebih ditingkatkan dengan kesadaran dan kemauan untuk lebih banyak memperoleh kesempatan untuk menentramkan batin manusia.
Kalau terciptanya kesehatan jiwa dan shalat sunnah mempunyai pengaruh untuk menambah kuatnya mental manusia.
Sebagai pembina kesehatan jiwa manusia, shalat mempunyai manfaat memperkuat mental dan menambah kesehatan jiwa. Karena pendekatan kepada Allah lebih ditingkatkan dengan kesadaran dan kemauan untuk lebih banyak memperoleh kesempatan untuk menentramkan batin manusia.
Kalau terciptanya kesehatan jiwa dan shalat sunnah mempunyai pengaruh untuk menambah kuatnya mental manusia.
Agenda terbesar bagi agama-agama dewasa ini
adalah mengeluarkan manusia dari problematika mental dan kejiwaannya yang
semakin kritis akibat berbagai tekanan dan disorientasi kejiwaan. Kemunculan
agama sejak awal sebenarnya memiliki salah stau tujuan sebagai daya penyembuh (as-syifa’).
Maka jika agama kemudian justru semakin menambah problem kesehatan mental
manusia, tentu ada yang tidak beres dalam pelaksanaan ajaran-ajaran agama itu
sendiri. Demikian halnya dengan shalat. Ketika shalaat selalu dilaksanakan,
akan tetapi mereka yang menjalankan belum bisa mendapatkan pencerahan jiwa,
pasti ada yang salah dalam memahami dan memaknai shalalt yang dijalankannya.
Tentu hal ini harus mendapatkan formulasi tepat, agar Islam benar-benar menjadi
daya penyembuh optimal bagi berbagai problem manusia modern.
Melalui shalat yang benar dan khusu’
disertai pemahaman nilai spiritual dan rohani shalat tersebut. Insya Allah berbagai belenggu kejiwaan akan terurai, larut dalam energy ilahi
yang memancar dari shalatnya itu. Kesembuhan dari penyakit rohani pada
gilirannya akan mampu mengikis dan menghilangkan berbagai penyakit jasmani,
bagaimanapun juga 85% penyakit rohanilah yang mempengaruhi dan mengakibatkan
penyakit yang terjadi pada jasmani manusia. Dari hal itu, manusia akan
benar-benar merasakan kebahagiaan hidup yang sempurna, tidak sekedar terbuai
oleh janji kebahagiaan.